PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI DAN ANAK AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN1
Oleh Drs. H. Bakti Ritonga, SH.,MH.2
I. Kedudukan Pengadilan Agama
Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 (perubahan ketiga) ditegaskan Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sejalan dengan ketentuan tersebut di atas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di tegaskan bahwa Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006.
II. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Rantauprapat
Untuk menyelesaikan sengketa sebagaimana disebutkan di atas Pengadilan Agama Rantauprapat memiliki wilayah hukum terdiri dari Wilayah Hukum Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labhanbatu Utara dan Kabupaten Labuhan Batu Selatan.
Wilayah Hukum Kabupaten Labuhanbatu terdiri dari:
- 9 Kecamatan
- 96 Desa/ Kelurahan
- jumlah penduduk 462.191 Jiwa
- Jarak lokasi darikantor Pengadilan Agama dengan radius antara 1 s/d 140 km dengan 2.561,38 km
Wilayah Hukum Kabupaten Labuhanbatu Utara terdiri dari:
- 8 Kecamatan;
- 90 Desa/Kelurahan;
- Jumlah Penduduk 351.097 jiwa
- Jarak lokasi darikantor Pengadilan Agama dengan radius antara 20 s/d 158 km dengan luas 3.545,80 km
Wlayah Hukum Kabupaten Labuhanbatu Selatan terdiri dari:
- 5 Kecamatan;
- 56 Desa/Kelurahan;
- Jumlah penduduk 313.884 jiwa;
- Jarak lokasi dari kantor Pengadilan Agama dengan radius antara 40 s/d 100 km dengan luas 3.116.00 km. Berdasarkan data pada bagaian Kepaniteraan Pengadailan Agama Rantauprapat pertanggal 31 Desember 2018 menerima perkara sebanyak 1551 perkara dari tiga Kabupaten tersebut di atas.
[1] Disampaikan dalam acara Diklat Pendampingan terhadap anak dan perempuan yang diadakan Pemkab Labuhanbatu pada tanggal 14 September 2018 bertempat di Hotel Platinum Rantauprapat.
[2] Ketua Pengadilan Agama Rantauprapat/ Dosen Tidak Tetap pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara Medan.
III. Kewenangan Pengadilan Agama
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan pertama atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, jo. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, tertanggal 29 Agustus 2013 tentang Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, secara limitative dijelaskan hal-hal yang menjadi kewenangan absalut Pengadilan Agama. “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. Waris; c. Wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.”
Orang yang mengajukan gugatan adalah orang yang memerlukan perlindungan hukum, ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Oleh karena itu ia mengajukan gugatan atau tuntutan hak, baik secara lisan maupun secara tertulis ke Pengadilan agama yang mempunyai kewenangan untuk itu baik relative konpetensi maupun absolute konpetensi.
Pengajuan gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah "eigen richting" yaitu tindakan menjadi hakim sendiri atau yang lazim dikatakan orang "main hakim sendiri".
Berdasarkan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara-perkara yang diterima di Pengadilan Agama dapat dibagai menjadi empat kategori:
- Perkara dibidang perkawinan terdiri dari:
- izin beristri lebih dari seorang;
- izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
- dispensasi kawin;
- pencegahan perkawinan;
- penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- pembatalan perkawinan;
- gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
- perceraian karena talak;
- gugatan perceraian;
- penyelesaian harta bersama
- penguasaan anak-anak
- ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;
- penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
- putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
- putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- pencabutan kekuasaan wali;
- penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
- penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
- pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
- penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
- putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
- pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
- Penetapan perubahan identitas dalam akta nikah.
- Perkara dibidang harta
2.1. Warisan; Yang dimaksud dengan "waris" adalah :
1. Penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, Penentuan bagian masing-masing ahli waris, Melaksanakan pembagian harta peninggalan,
2. Penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris dan penentuan bagian masing-masing ahli waris;
2.2. Harta bersama:
a. Penentuan mana yang disebut harta bersama, penentuan bagian masing-masing suami isteri dari harta bersama;
b. Melaksanakan Pembagian Harta Bersama
2.3. Perkara dibidang Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan "ekonomi syari’ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, meliputi:
a. bank syari’ah;
b. asuransi syari’ah;
c. reasuransi syari’ah;
d. reksa dana syari’ah;
e. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
f. sekuritas syari’ah;
g. pembiayaan syari’ah;
h. pegadaian syari’ah;
i .dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;
j. bisnis syari’ah; dan
k. lembaga keuangan mikro syari’ah.
3. Perkara yang berhubungan dengan Ibadah dalam harta
Yang dimaksud dengan perkara yang menyangkut ibadah adalah Sadaqah, Infaq, Wakaf, Zakat, Wasiat dan Hibah. Apabila perorangan atau badan hukum mempunyai masalah yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan dalam batas-batas konpetensi absalut Pengadilan Agama sebagaimana telah dikemukakan di atas maka tindakan yang diambil oleh orang atau badan hukum dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya dengan mengajukan surat gugatan ke pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg.
4. Perkara yang berhubungan dengan jinayah/jarimah (khusus di Mahkamah Syar’iyah Aceh).
Berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004, tertanggal 06 Oktober 2004, tentang pelimpahan sebahagian kewenangan dari peradilan umum kepada Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceeh Darussalam. Mahkamah Syar’iyah selain mempunyai kewenangan absolute sebagaimana diatur secara limitative berdasar ketentuan dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juga bewenang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 telah memberikan kewenangan terhadap Mahkamah Syar`iyah untuk menerima memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama dalam bidang, (a). Al-Ahwal al-Syakhshiyah, (b), Mu'amalah, (c). Jinayah.
Kekuasaan dan kewenangan tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem Peradilan Nasional dan sampai saat ini yang telah ada ketentuan hukumnya sesuai dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat terdapat ketentuan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan jarimah dan ‘uqubat.
Jarimah adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan/atau tidak melaksanakan perbuatan yang diperintahkan oleh Syariat Islam yang dalam Qanun jinayat diancam dengan ‘Uqubat Hudud, Qishas, Diyat dan/atau Ta’zir3
‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku jarimah.
Hudud adalah jenis ‘Uqubat yang bentuk dan besarannya telah ditentukan dalam Qanun secara tegas.4
Ta’zir adalah jenis ‘Uqubat pilihan yang telah ditentukan dalam Qanun yang bentuknya bersifat pilihan dan besarannya dalam batas tertinggi dan/atau terendah.5
Kompensasi adalah `uqubat yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa untuk membayar sejumlah uang kepada korban kejahatan atau pihak lain yang telah dirugikan karena jarimah yang dilakukan oleh terdakwa.5
Sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Jinayat ada 10 (sepuluh) macam jarimah yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah untuk memeriksa dan memutusnya., meliputi:
1. Khamar, Khamar adalah minuman yang memabukkan dan/atau mengandung alkohol dengan kadar 2% (dua persen) atau lebih.
2. Maisir adalah perbuatan yang mengandung unsur taruhan dan/atau unsur untung-untungan yang dilakukan antara 2 (dua) pihak atau lebih, disertai kesepakatan bahwa pihak yang menang akan mendapat bayaran/keuntungan tertentu dari pihak yang kalah baik secara langsung atau tidak langsung.
3. Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan Mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan Zina.
3Pasal 1 ayat 36 QHAJ
4Pasal 1 ayat 38 QHAJ
5 Pasal 1 ayat 39 QHAJ
6Pasal 1 ayat 40 QHAJ
4. Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup atau terbuka.
5. Zina adalah persetubuhan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak
6. Pelecehan Seksual adalah perbuatan asusila atau perbuatan cabul yang sengaja dilakukan seseorang di depan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik laki-laki maupun perempuan tanpa kerelaan korban
7. Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur orang lain sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban.
8. Qadzaf adalah menuduh seseorang melakukan Zina tanpa dapat mengajukan paling kurang 4 (empat) orang saksi.
9. Liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya kedalam dubur laki-laki yang lain dengan kerelaan kedua belah pihak.
10. Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling menggosok-gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak.7
1. Kewenangan sidang Praperadilan dalam perkara jinayah/jarimah
Menurut ketentuan dalam Pasal 80 Rancangan Qanun Aceh Tentang Hukum Acara Jinayat, bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang melalui sidang praperadilan untuk memeriksa dan memutus tentang hal-hal sebagai berikut:
- Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi setiap orang yang perkara jinayatnya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
- Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Isteri, Anak dan Harta
Dalam kesempatan yang sangat singkat ini kita coba menelaah sedikit akibat putusnya perkawinan terhadap isteri, anak dan harta.
Perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 2 ayat (1) ditegaskan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
7Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (1 point 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 30 dan tantangannya adalah : mampukah para hakim Pengadilan Agama menangani perkara jinayat secara cepat, sederhana dan adil seuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. Peluang dan tantangan yang sama tertuju juga kepada Pemerintah khususnya pemerintah Propinsi maupun Pemerintah Kabupaten Kota karena sesuai dengan ketentuan Pasal 136 ayat (2) UUPA Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar’iyah dibiayai dari APBN, APBA, dan APBK.31)
Melalui perkawinan dua insan yang berbeda dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing disatukan, diharapkan dapat berlangsung selama-lamanya, sampai ajal memisahkan (dipisahkan cangkul dan tumbilang). Namun dalam perjalanan bahtera kehidupan rumah tangga yang dijalanani tentu sebagai makhluk sosial (zoon politicon), tidak semua dari ikatan perkawinan tersebut akan mencapai tujuan perkawinan sebagaimana yang digariskan Allah dalam al-Qur’an Surah al-rum ayat 21 yakni membentuk keluarga bahagia sakinah, mawaddah dan rahmah.
Walaupun perkawinan yang dibangun tersebut ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat diteruskan.
Dalam Pasal 38 UU Nomor 1 Tahun 1974 secara limitative ditegaskan Perkawinan dapat putus karena;
- Kematian;
- perceraian dan;
- atas keputusan Pengadilan.
- Akibat Kematian Terhadap Harta
Dalam hal perkawinan putus karena kematian akan menimbulkan persoalan baru, dalam masalah hukum harta peninggalan menjadi hukum waris. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut perlu dikemukakan beberapa hal yang menyangkut asas-asas hukum kewarisan Islam yang digali dari ayat-ayat hukum kewarisan serta sunnah Nabi Muhammad SAW. Asas-asas dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
- Asas Ij'bari
Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari.
Secara etimologi kata ijbari mengandung arti paksaan yang maksudnya peralihan dengan sendirinya dalam hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang sudah meninggal kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan dari Si pewaris. Dengan kata lain, dengan adanya kematian Si pewaris secara otomatis hartanya akan beralih pada ahli warisnya. Asas ijbari ada 3 segi yakni
- dari segi peralihan harta ;
- dari segi jumlah harta yang beralih dan
- dari segi kepada siapa harta itu beralih
Ketentuan asas ijbari ini dapat dilihat pada surat an-nisa' ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada bagian dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabatnya.
b. Asas Bilateral
Yang dimaksudkan dengan asas bilateral dalam hukum Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari dua belah pihak garis kerabat, yakni dari garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firman Allah dalam surat an-nisa' ayat 7, 11, 12 dan 176.
c. Asas Individual
Asas indivifual artinya ialah dalam sistem hukum Islam, harta peninggalan yang ditinggal mati oleh yang meninggal dunia dibagi secara individual yakni secara pribadi kepada masing-masing. Jadi bukan asas kolektif yang seperti dianut dalam sistem hukum adat yang terdapat diminangkabau, bahwa harta pusaka tinggi itu diwarisi bersama-sama oleh suku dari garis pihak Ibu.
Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam Al-Qur'an surat an-nisa' ayat 7 yang secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya terlepas dari itu ada jumlah tersendiri.
Dari ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkantetapi sebaliknya jumlah harta itu tunduk kepada ketentuan yang berlaku.
Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sangsi yang berat di akhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam surat an-nisa' ayat 13 dan 14.
Diantara ahli waris yang tidak memenuhi ketentuan untuk bertindak atas hartanya (seperti belum dewasa), maka harta warisan yang di perolehnya berada dibawah kuasa walinya dan dapat dipergunakan untuk belanja kebutuhan sehari-hari anak tersebut. Hal ini didasarkan kepada firman Allah dalam surat an-nisa' 5 yang menyatakan tidak bolehnya menyerahkan harta keadaan safih yaitu orang yang dalam ayat ini berarti belum dewasa.
d. Asas Keadilan Berimbang
Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan isterinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya.
Keadilan adalah memberikan hak kepada yang berhak secara tepat, tekanannya pada terpenuhinya hak dan kewajiban. Begitu pula keseimbangan antara keperluan dan kegunaan dalam surah an-nisa' ayat 11 dianut : bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan
e. Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian
Hukum warisan Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian dengan kata lain harta seseorang tidak dapat beralih seandainya dia masih hidup, walaupun ia berhak untuk mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup dan bukan penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia.
Pada saat terjadi kematian akan menimbulkan kewajiban bagi ahli waris sebagaimna yang di tuangkan dalam Pasal 175 Kompilasi Hukum Islam:
- Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:
- mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
- menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk kewajiban pewaris maupun penagih piutang;
- menyelesaikan wasiat pewaris;
- membagi harta warisan di antara wahli waris yang berhak.
- Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.
- Akibat Perceraian Terhadap Isteri, Anak dan Harta
Sebelum kita telusuri yang berhubungan dengan akibat yang akan terjadi setelah perceraian kita coba lihat hal-hal yang menyebabkan pasangan suami isteri bercerai. Dalam ketentuan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
- salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
- salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
- sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
- antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
- Suami menlanggar taklik talak;
- peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. (dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian (vide Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun1975) ;
Pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama yang berwenang (relative kompetensi), sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Th. 1974 yang menentukan bahwa "Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak". Jadi jika dalam sidang-sidang pengadilan, hakim dapat mendamaikan kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan.
- Akibat perceraian terhadap isteri
Dalam Pasal 149 (a,b,c) Kompilasi Hukum Islam ditegaskan”
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
- memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
- memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak bain atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
- melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
Dalam Pasal 152 KHI ditegaskan “Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz”. Sedangkan “ Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah (Pasal 150 KHI).
Demikian juga bekas isteri mempunyai kewajiban sebagaimna diatur dalam Pasal 151 KHI ”Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Sebagaimana diatur dalam Pasal153 KHI:
- Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
- Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
- Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
- Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
- Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
- Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
- Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitungsejak kematian suami.
- Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
- Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali.
Demikian juga dalam Pasal 154 KHI Apabila isteri bertalak raj`i kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Sedangkan dalam Pasal 155 KHI ditegaskan waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.
Dalam Pasal 158 KHI Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:
- belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
- perceraian itu atas kehendak suami.
Dalam Pasal 159 KHI Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.
Dalam Pasal 160 Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
Dalam Pasal 161 KHI Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk. Dalam Pasal 162 KHI Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.
- Akibat perceraian terhadap pemeliharaan anak
Apabila proses pemeriksaan perkara yang dilakukan hakim dalam persidangan berdasarkan fakta hukum akhirnya majelis hakim berkesimpulan dengan keputusan perceraian diantara suami dan isteri tidak mungkin dihindarkan, maka perceraian tersebut akan beakibat langsung kepada anak/anak-anaknya.
Dalam Pasal 41 UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan ditegaskan:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
- Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-matas berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi putusannya.
- Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.Dalam Pasal 156 huruf a sampai f Kompilasi Hukum islam ditegaskan bahwa Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
- Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlonah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh
- Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;
- Ayah;
- Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
- Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
- Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
- Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
- Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih mendapatkan hadlonah dari ayah atau ibunya;
- Apabila pemegang hadlonah ternyata tidak dapatmenjamin keselematanjasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadlonah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutanPengadilan Agama dapat memindahkan hak hadlonah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadlonahpula;
- Semua nafkah dan hadlonah anak menjadi tanggungan ayah menurutkemampuannya, sekurang-kurangnyasampaianak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
- Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadlonah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikanputusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d);
- Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaandan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya".
- Akibat perceraian terhadap harta
Sebagaimana yang dikemukakan di atas terjadinya perceraian akan berakibat terhadap anak, demikian jugalah halnya dengan akibat perceraian terhadap kekayaan (harta benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak) yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 1 Th. 1974, yang berbunyi "Bila perkawinan putus, karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing". Di dalam Penjelasan Pasal 37 UU Nomor 1 tahun 1974 dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan "hukumnya masing-masing" adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
- Harta Benda Dalam perkawinan
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974:
- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
- Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 diatur:
(1). Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Apabila terjadi perceraian sesuai ketentuan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Demikian juga dalam Pasal 157 Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97.
- Akibat Putusnya perkawinan karena Putusan Pengadilan
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di tegaskan Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Thun 1974 tentang perkawinan ditegaskan:Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
- Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
- Suami atau isteri;
- Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
- Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Perkawinan yang dapat diajukan pembatalan sesuai ketentuan perundang-undangan adalah :
- Pasal 24 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974: Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
- Pasal 26 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 :
- Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
- Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
3. Pasal 27 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 :
(1). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2). Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3). Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
4. Dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974:
(1). Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2). Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
- Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.